cerpen: Widya ArumSetelah shalat isya' berjamah dimushala, aku selalu duduk dibangku panjang yang terbuat dari kayu di tepi kolam taman. Menyaksikan ikan-ikan yang tak pernah tidur. Mereka pernah ngantuk nggak, ya? Haha, pertanyaan bodoh. Mendengarkan gemericik air terjun mini yang sengaja dibuat tukang untuk memperindah kolam. Dan nyata, kolam ini memang indah. Menikmati pemandangan malam, langit bersepuh kelam di hiasai kerlipan bintang, sesekali rembulan mengulas senyum padaku. Betapa indah lukisan karya Tuhan.
Aku amati daun yang mengapung di atas air, dia berusaha untuk tidak tenggelam oleh riak-riak air. Ada yang berhasil mengapung, ada yang berusaha dengan sekuat tenaga tapi akhirnya tenggelam. Ada pula yang dengan mudahnya tenggelam dengan hanya riak kecil yang menggoyangnya. Kiranya seperti itulah hidup, berisikan perjuangan untuk melawan arus kehidupan, bertahan dari kerasnya gelombang kehidupan. Tentunya manusia harus punya pegangan yang kuat agar tak hanyut dan tenggelam.
“Hai lagi ngapain?” tiba-tiba Yoga duduk di sebelahku, mengagetkan lamunku.
Kutatap dia sebentar, dia memandang ke arah kolam, seakan mencari apa yang kulihat.
”Lagi lihat apa sih, kayaknya kok serius amat. Dari tadi kuamati gak beralih posisi?” tanya Yoga sambil terus mengamati kolam.
”Mau tau aja... Ha, ketahuan ngintip dari tadi ya?”
”Siapa yang ngintip, ge-er. Makanya jangan melamun, ada orang di belakangnya hampir setahun juga nggak sadar.”
Aku hanya tersenyum, dan mata kami kini tertuju pada kolam yang airnya nampak hijau karena dasar kolam telah dipenuhi lumut. Tapi lumut itu tak mengeruhkan air, ia masih nampak bening.
”Lihat ikan-ikan itu Ga, kok gak pernah tidur ya?” tanyaku tolol.
Tiba-tiba Yoga meloncat dan pergi. Namun kembali lagi membawa sebuah bungkusan plastik. Ia mengambil satu genggam dari bungkusan itu, ia lemparkan ke kolam. Ikan-ikan menyambutnya hingga membentuk kerumunan, dan saling berebut mendapatkan makanan. Aku tersenyum. Yoga memandangku, kemudian ikut tersenyum.
”Bila Tuhan menabur uang secara gratisan, mungkin manusia seperti ikan-ikan itu kali ya?” gumam Yoga, suaranya hampir tak terdengar.
”Manusia itu dibekali akal Ga, jadi Tuhan tidak akan menabur uang sembarangan tanpa manusia berusaha.”
”Halah Bu Ustad ndalil.” Aku hanya mencibir saja mendengarnya.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Seringkali Yoga menemaniku di tepi kolamnya. Aku sudah seminggu KKN di desa ini. Aku menginap di rumah Pak RT bersama keempat temanku. Yoga adalah anak Pak RT, jadi kami tinggal satu atap. Rumah Pak RT cukup luas, ada lima kamar. Satu kamar untuk pasangan Pak dan Bu RT, satu kamarnya Yoga, kamarku dengan Tari, dan sisanya untuk kedua temanku yang laki-laki.
Yoga ternyata alumnus universitas tempatku kuliah, jadi kami tambah nyambung ngobrolnya. Dari membicarakan tentang kemajuan kampus, tentang dosen kampus yang centil, sampai tentang dekan yang super killer. Kami sering tertawa menceritakan itu semua.
”Ra, kamu pernah jatuh cinta nggak?”
”Pernah.”
”Gimana caranya cowokmu nembak kamu?”
”Mau tau aja, memang kenapa? Kamu lagi jatuh cinta, ya?”
”Mmm…iya,” tandasnya singkat.
”Gadis manakah yang mampu mencuri hatimu?”
”Teman kerja.”
”Memangnya kamu tidak pernah nembak cewek?”
”Dulu pernah sih, tapi berakhir tragis. Aku ingin cara menyatakan cinta yang membuat dia tidak bisa melupakan aku.”
”Yang bagaimana?”
”Belum tau, makanya aku pingin nanya sama kamu?”
Berawal dari malam itu, kami selalu berbicara tentang hati, cinta dan perasaan. Kolam di samping rumah Yoga selalu setia mendengarkan cerita-cerita kami.
”Apa ayahmu seorang pencuri?” tanya Yoga suatu ketika.
”Enak aja ngatain bapakku pencuri!” Hatiku geram, mataku melotot ke arahnya. Bahkan tanganku mengepal siap memukulnya.
”Kalau bukan, dari mana kamu belajar mencuri, mengapa kamu pandai sekali mencuri hatiku?” kata Yoga menatapku.
Dahiku mengkerut tak mengerti. ”Kira-kira begitu aku akan memulai menyatakan cinta pada Asmara.”
Ya, Asmara nama gadis itu, yang mampu mencuri hati Yoga.
”O...mau menggombal ternyata.”
”Siapa yang nggombal? Kan romantis, bukannya cewek cenderung suka yang romantis?”
”Romantis itu banyak gombalnya. Lagian, nuduh nyuri kok dibilang romantis, yang ada kamu ditendang duluan.”
”Jadi, cara ini menurutmu gak pas ya?”
”Yang lain aja deh…,” saranku.
Begitu selalu, aku jadi bahan percobaan oleh Yoga. Setiap malam, tentunya di tepi kolam itu, kami selalu membahas tentang PeDeKaTe Yoga kepada Asmara. Seperti yang dilakukannya malam ini, benar-benar membuatku jengkel.
”Kemarin malam aku melihat 1.000 bintang di langit,” ucap Yoga sambil menatap ke atas.
”Ngitung pake apa kamu? Jari tanganmu gak akan cukup,” kataku tak acuh.
”Tapi malam ini tinggal 998. Kamu tahu gak yang dua ke mana?” tanyanya sambil menoleh padaku.
”Udah jatuh kali, memberikan kebahagiaan kepada Yoga dan Asmara,” jawabku asal, menggoda Yoga.
”Dua bintang itu sekarang kulihat di dalam matamu.” Yoga menatapku lekat, seakan ada panah yang menusuk meluncur dari matanya. Jantungku berdesir hebat, lalu berdegup cepat. Aku termangu dalam kebisuan.
”Sip!! Kayaknya cara ini pas Ra, kamu aja sampe termangu gitu, hahaha…”
Setelah kejadian itu, entah aku menjadi muak mendengar Yoga menyebut nama Asmara. Rasanya aku ingin menyumbat telingaku. Aku ingin menghindar dari Yoga, tapi aku selalu ingat kata-kata Yoga, ”Terima kasih ya Ra, kamu mau menjadi sahabatku, mau mendengarkan tentang Asmaraku.” Bagaimana aku bisa menghindar dari orang yang membutuhkan aku sebagai sahabat. Aku sungguh tersiksa dengan rasa ini.
Malam ini aku benar-benar malas duduk di tepi kolam. Melihat tampang Yoga yang tanpa dosa menjadikan aku kelinci percobaan. Habis isya’ aku tiduran saja di kamar dengan Tari.
”Tumben gak nongkrong dengan Yoga?” tanya Tari penuh selidik.
”Lagi males aja.”
”Thok...thok...thok...” Pintu kamar ada yang ngetuk.
”Buka Ri... Kalau Yoga, bilang aja aku lagi gak enak badan,” bisikku pada Tari.
Tari nurut aja. Terntata benar-benar Yoga. Tapi dia cuma sebentar dan berlalu pergi hanya meninggalkan kata, ”Oh...” Aku menghela napas lega. Untung dia nggak pake acara pegang jidat. Namun tak lama kemudian pintu kamar kembali ada yang ngetuk. Yoga memberi balsam, minyak kayu putih, obat tolak angin, dan segelas teh hangat. Eh, masih pake nitip salam juga, ”Moga cepat sembuh,” katanya.
”Duh dapet perhatian kusus nih ye… Dibilang juga apa, Yoga tuh ada hati sama kamu, Ra.”
”Ya iyalah diperhatiin, kalau gak ada aku kan dia gak ada mangsa lain buat kelinci percobaan,” jawabku sewot.
”Kayaknya kamu cemburu deh Rin, sama Asmara tuh...”
Cemburu? Mana mungkin? Benarkah ini rasa cemburu? Tapi buat apa cemburu, toh Yoga mencintainya, dan sekali lagi aku hanyalah sahabat barunya. Kucoba menghibur diriku dan berusaha menepis bayangan Yoga dari benak. Tetapi sulit.
Malam berikutnya aku duduk-duduk kembali di tepian kolam, nggak enak dengan Yoga, nanti dia malah curiga. Seperti biasa ia menyusulku dan selalu duduk di sampingku. Wuih, kali ini bawa setangkai mawar segala. Mau bikin rencana gila apa lagi ini anak? Hatiku kupersiapkan agar tidak sampai tertipu seperti sebelumnya.
”Udah baikan, Ra?”
”Udah, makasih ya…”
”Makasih atas apa?”
”Atas semua,” jawabku singkat.
Dahi Yoga berkerut, sepertinya dia tak paham. Aku terdiam. Tiba-tiba aku merasa gugup. Ah, masa nggak ngobrol sehari jadi salting gini sih.
”Atas pemberian kamu kemaren, teh hangatnya, minyak anginnya, obat penolak anginnya...”
”O...o...itu.” Yoga mengulas senyum. Sebenarnya manis juga kalau lagi senyum. Ah, apa sih… segera kutepis pikiran kotorku.
”Padahal aku cuma sedikit pusing kok Ga. Jadi obatnya nggak kuminum.”
Yes!! Teriakku girang dalam hati. Aku merasa menang ngerjain Yoga, skor satu sama.
”Ya buat jaga-jaga kalau lain kali masuk angin,” tukasnya tak mau kalah.
Aku tak pernah bosan menatap ikan-ikan di kolam itu. Kurasakan ada keunikan tersendiri. Aku senang sekali menikmati pemandangan di depanku.
”Tiara...aku ingin ngomong,” celetuk Yoga tiba-tiba.
”Ngomong aja.” Kualihkan pandanganku ke Yoga sejenak, kemudian kembali menatap air terjun mini di depanku.
”Tiara...aku mencintaimu.”
Deg!
”Kamu salah nyebut nama tuh Ga, bukan Tiara tapi Asmara, ha...ha… Gak jadi dapat cinta kamu entar malah dapat celaka, tau!” Aku terus saja tertawa, padahal hanya untuk menutupi rasa gugupku.
”Aku gak salah ngomong Ra, karena kamulah sebenarnya Asmaraku. Kamulah yang kucintai selama ini. Kebersamaan kita yang singkat ini mampu menggores bahagia pada hari-hariku. Setelah bertemu denganmu, hidupku lebih berarti, penuh warna-warni.”
Aku diam, tak berani memandang Yoga. Aku lihat kolam itu menjadi bening sekali. Aku masih takut hanya dijadikan kelinci percobaan.
”Benarkah itu?” tanyaku lirih.
”Sungguh Ra, tataplah kedua mataku, temukanlah kesungguhanku di dalamnya.”
Ragu-ragu kumenatap kedua mata Yoga, di sana aku menemukan sebuah harapan yang menyala-nyala, melambai-lambai mengajakku masuk ke dalamnya.
”Tiara, maukah sejak detik ini kamu mengisi ruang hati, ruang mimpi, dan ruang hidupku? Mengisi sisa waktuku?” tanya Yoga sambil mengulurkan setangkai mawar segar yang berada di tangannya.
Kusambut mawar cintanya. Kupejamkan mata, kuhirup dalam-dalam aroma bunga cinta yang ditaburkan Yoga. Kurasakan hatiku gerimis, basah oleh kebahagiaan yang tak terperi.
Setelah shalat isya' berjamah di mushala, aku selalu duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu di tepi kolam taman. Menyaksikan ikan-ikan yang tak pernah tidur. Mereka pernah ngantuk nggak, ya? Haha, pertanyaan bodoh. Mendengarkan gemericik air terjun mini yang sengaja dibuat tukang untuk memperindah kolam. Dan nyata, kolam ini memang indah. Menikmati pemandangan malam, langit bersepuh kelam di hiasai kerlipan bintang, sesekali rembulan mengulas senyum padaku. Betapa indah lukisan karya Tuhan.
Rabu, 13 Januari 2010
Di Tepi Kolam Cinta
Kowloon Tong, 30 Desember 2009
at 20.03 1 comments
Labels: AK#21/2010, Pojok Victoria
Langganan:
Postingan (Atom)