Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Agustus 2009

APAKABAR 11/2009 TELAH BEREDAR

Mbah Surip, I Love You Full

Bangsa Indonesia berduka, meratapi kepergian mendadak seniman nyentrik Mbah Surip. Dari Manohara hingga Presiden mengaku kehilangan sosok sederhana itu. Benarkah popularitas telah "membunuh" pelantun lagu Tak Gendong itu? Baca cerita selengkapnya di Sorot.

Curhat edisi ini mengisahkan kepedihan seorang duda yang merasa ditipu oleh wanita yang dikenalnya dari rubrik TTM.

Baca juga Gosip terkini selebriti tanah air: Jikustik, Ferdy Hasan, Raffi Ahmad, Marcella Zalianty, dan Fedi Nuril.


































Jumat, 24 Juli 2009

DUNIA MAYA MEMANG TIDAK BISA DIPERCAYA


Apa sih yang diandalkan untuk berkenalan lewat dunia maya? Tidak lebih dan tidak bukan hanya bermodal ”kain gombal”. Mula-mula aku masih tidak menyadari, setiap kalimat serius yang keluar dari bibir J, cowok asal Tulungagung yang bekerja di Korea, hanyalah dusta. Belakangan terbukti, kata-kata itu memang tak bisa dipegang. Aku terkibuli.

Kurang lebih delapan tahun aku bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Saking lamanya, keluarga majikan sudah menganggapku seperti keluarga sendiri. Yup, sejak pertama kali datang ke Hong Kong hingga saat ini, aku memang bekerja hanya pada satu majikan.

Pada tahun-tahun pertama, hakku sebagai pekerja tentulah masih belum kuterima sepenuhnya. Namun pada tahun-tahun berikutnya, majikan memberikan semua hak-hakku. Aku bahkan diizinkan keluar rumah pada jam kerja, asalkan pekerjaan di rumah sudah rampung semua. Selain itu, majikan juga memberiku fasilitas yang menurutku sangat wah. Asal tahu saja, di kamarku yang ber-AC penuh dengan barang-barang elektronik. Mulai dari televisi, tape recorder, dan komputer lengkap dengan yahoo messenger. Read more....

Rabu, 15 Juli 2009

Narkoba Mengantarku Jadi BMI di Malaysia

Sebelum mengenal narkoba, karierku sebagai seorang arsitek lumayan bagus. Rumah tanggaku juga sangat bahagia. Dikarunia seorang istri cantik, setia, pandai mengurus kedua buah hati, juga keuangan kami. Tak ada yang kurang pada masa ”kejayaanku” masa itu. Hingga suatu hari, aku diajak ke sebuah klub malam oleh sahabatku yang sedang frustasi. Ia barusan kehilangan istri, yang sedang mengandung empat bulan, ke pangkuan Illahi.

Mula-mula aku hanya sebatas menemani, tetapi lama kelamaan aku kecanduan. Terlebih setelah aku berkenalan dengan ekstasi alias inex. Bukan hanya utang yang menumpuk, aku pun harus meringkuk dalam jeruji besi setelah tertangkap basah nginex. Puncaknya, selepas dari penjara, istriku meminta cerai dengan membawa serta kedua anakku. Mereka tak sudi lagi hidup bersamaku, yang bekas narapidana. Sekarang aku hanya bisa meratapi nasib, sembari berdoa semoga kegagalan yang pertama tak terulang lagi di dalam hidupku.

Kurang lebih tujuh tahun aku bekerja di Malaysia, meninggalkan Madiun tempat kelahiranku. Selama di negara ini, segala macam pekerjaan telah aku coba. Mulai dari nyopir, kuli bangunan, bekerja di perkebunan hingga sebagai tukang cuci piring di restoran – pekerjaan yang kini kugeluti.

Selama itu, bayang-bayang buruk selalu menghantuiku, tetapi aku mencoba tetap bertahan dan tak ingin kembali ke tanah air. Ya, rasanya sudah tak ada lagi yang menarikku untuk pulang ke kampung halaman. Kedua orangtuaku sudah tiada. Saudara-saudariku sudah menikah semua. Sementara istriku telah menikah lagi dengan membawa kedua anakku.

Aku pernah dua kali menginjakkan kaki ke Tanah Air. Tepatnya ketika istriku meminta cerai dan ketika sidang soal hak pengasuhan anak. Meski tak terlalu lama, urusan itu kuanggap sangat penting. Artinya, aku tak bisa menyerahkan masalahku hanya melalui pengacara. Aku harus hadir di sana agar bisa adu argumentasi atas tuduhan-tuduhan istriku.

Sayangnya, aku tak memiliki bukti apa pun atas pemojokan yang dituduhkan istriku. Aku kalah, dan hak asuh kedua anakku pun dimiliki mantan istriku. Dalam surat perjanjian, sebenarnya aku diizinkan untuk bertemu dengan kedua anakku. Tapi entah kenapa istriku selalu punya alasan agar aku dan anakku tidak bisa bertemu. Dan, itu sangat aku sedihkan. Hingga membuat aku putus asa dan nekat tidak kembali ke Tanah Air lagi. Aku yakin, suatu hari nanti anak-anakku pasti akan bertanya dan mencari papanya.

Sebelum aku dipenjara dua tahun – menjelang berangkat ke Malaysia – kedua anakku sempat merasakan kasih sayangku. Saat itu usia anak sulungku delapan tahun dan si bungsu enam tahun. Jadi kupikir, ia bisa tahu, akulah papa kandungnya. Walaupun mungkin mamanya sudah mencekokinya dengan cerita buruk tentang aku, biarlah. Mungkin ini hukuman bagiku. Entah hukum alam ataukah hukum Tuhan.

Cerita itu kusimpan rapi di dalam hidupku selama aku di Malaysia. Cerita itu sangat kelam hingga membuat kisi-kisi hatiku selalu tak tenang. Bayangan anakku, mantan istriku, masa kejayaanku, semua jadi siksaan tersendiri bagiku. Aku tahu semua salahku, dan karena itulah aku tak pernah menyalahkan sikap istriku yang berubah demikian. Yang kutangisi tiap kali ingat anak dan istriku adalah hari terakhir kunjungan mereka ke penjara, tepatnya satu bulan setelah aku masuk penjara. Saat itu aku melihat mata istriku berkaca-kaca sewaktu kedua anakku mengajakku pulang ke rumah. Air mata mereka sungguh menerbitkan kepedihan bagi hatiku. Sejak itu mereka tak lagi membezukku.

Sementara itu, sahabatku yang mengajakku mengenal dunia malam, juga memperkenalkanku dengan perempuan-perempuan malam hingga ke para bandar narkoba, tak sekalipun menengokku. Aku sangat menyesali, kenapa sedetik saja mereka tak mau datang dan melihatku. Ketika ia ada masalah, butuh bantuan apa pun, aku tak pernah keberatan menolongnya. Tapi kenapa ia tak mau datang menolongku? Ah, jangankan menolong, menengok pun tidak.

Pukulan terberat dalam hatiku, yakni ketika aku sudah waktunya keluar dari penjara. Aku mendapat kabar, istriku berselingkuh dengan sahabat yang memperkenalkanku pada narkoba – salah satu kasus yang membawaku masuk penjara. Apakah aku masuk penjara juga atas jebakan sahabat yang termasuk relasi kerjaku itu?

Setahun, sekeluar dari penjara, aku kembali ke rumah orangtuaku. Seluruh hartaku ludes yang, menurut mantan istriku, dijual semua untuk menutupi utang-utangku di bandar inex. Selama di rumah orangtua, ada yang membuat hatiku sedikit tenang. Tetapi ketenanganku terusik ketika, beberapa bulan sekeluar aku dari penjara, mereka meninggal dalam tahun yang sama. Pukulan itu semakin berat, terlebih pada hari pemakaman bapak, istriku datang ikut berkabung sembari menyampaikan permintaan: ceraikan aku!

Bumi seolah runtuh. Kondisi pikiranku yang masih belum ”sehat” dari narkoba rasanya mau pecah. Sampai akhirnya, aku benar benar sadar, sesadar-sadarnya...hidup ini begitu berat untuk dijalani hanya seorang diri.

Tak ada satu pun yang membuat batinku tenang. Terlebih jika mengingat ”pandangan” masyarakat, juga tuduhan saudara-saudaraku yang – menurut mereka – akulah yang membunuh pikiran kedua orangtuaku sampai meninggal. Batinku terasa semakin sakit, sesakit-sakitnya. Tak satu orang pun yang mau berkawan lagi denganku. Aku tak mengerti kenapa dulu, ketika aku masih jaya, mereka begitu ”hormat” dan segan padaku. Tapi setelah mereka tahu aku masuk penjara gara-gara ketangkap, punya utang banyak, sampai meninggalnya orangtua, mereka semua mencibir. Sempat aku berpikir, sudah menjadi sampah masyarakatkah diriku?

Karena tak tahan dengan kondisi lingkungan yang demikian, aku nekat berangkat ke Malaysia melalui jasa penyalur. Mereka menempatkan aku di daerah Selangor, sebagai sopir pribadi keluarga kaya. Di tempat itu aku tak bisa bertahan lama. Pasalnya, setiap kali mengantar keluarga majikan bekerja, aku selalu terbayang pada kehidupan rumah tanggaku yang dulu begitu harmonis. Tekanan batin itu membuat aku memilih pekerjaan lain.

Namu, melepaskan diri dari agency ternyata rumit. Aku kesulitan mencari job, hingga pada akhirnya kujatuhkan pilihan menjadi kuli bangunan – pekerjaan yang sempat membuatku beberapa kali mengalami kecelakaan, tertimpa batu bata atau kayu. Beratnya pekerjaan, setidaknya telah cukup membantuku melupakan bayangan buruk dalam hidupku. Sebab, setiap kali kecapekan, aku akan tertidur pulas. Padahal, semenjak masuk penjara, aku tak pernah bisa tidur pulas.

Menjadi kuli bangunan ternyata banyak menganggur. Setidaknya, begitulah yang aku alami selama menjadi anak buah perusahaan itu. Job jarang ada, sementara setiap kali ada job selalu dengan sistem borongan. Kalau selama tidak ada pekerjaan perusahaan mau menanggung biaya makan minum tiap hari, itu tak apa. Tapi di perusahaanku tidak begitu. Selama menganggur, anak buah ya mesti menanggung sendiri biaya hidup sehari-hari. Keadaan yang tak nyaman itu menuntutku mencari pekerjaan lain, menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.

Celaka, bekerja di perkebunan ternyata justru membuat kondisiku semakin buruk. Aku dan teman-teman sesama tenaga kerja Indonesia harus tinggal di area perkebunan, dengan keadaan yang jauh dari layak. Kumuh dan banyak nyamuk. Sampai pernah suatu hari, aku dilarikan ke rumah sakit terbesar di kota itu, karena serangan demam berdarah. Untungnya, teman-temanku sangat baik dan suka rela membantuku. Satu per satu dari mereka yang sedang tidak kena shift akan menjagaiku di rumah sakit. Aku sungguh berutang budi pada teman-temanku di perkebunan.

Sejak keluar dari rumah sakit, kondisiku semakin memburuk. Aku jadi sering sakit-sakitan. Bukan hanya demam, panas badan, batuk, tetapi juga diare. Sampai kemudian, aku dipanggil pimpinan perusahaan, yang mengatakan tidak menginginkan tenagaku lagi. Alasannya, biaya yang mereka keluarkan jauh lebih besar ketimbang gaji bulananku. Sekali lagi aku berpasrah apa pun kehendak-Nya.

Kondisi kejiwaan, juga badanku, belakangan berangsur membaik setelah aku diajak teman bekerja di sebuah restoran masakan Cina. Walaupun gajinya lebih kecil, tetapi kondisiku jauh lebih ”sehat”. Sampai kemudian, aku mendapat surat dari pengacara istriku yang meminta cerai. Bisa dipastikan, pikiranku kembali harus ”bekerja keras.” Tak ada jalan lain, akhirnya kuterima ”tantangan” istriku, meskipun terpaksa harus pinjam uang yang cukup banyak pada teman sepekerjaan.

Setelah kelar semua urusan di Indonesia, aku kembali ke Malaysia. Bersiap membanting tulang demi membayar utang-utang. Tak mengapa aku kehilangan istri dan anak-anak, yang penting aku sudah ”melepaskan” istriku dari ketidakjelasan statusnya.

(Dikisahkan ”R”, BMI Malaysia, kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

Jumat, 19 Juni 2009

KETULUSAN CINTAKU DIBALAS DENGAN PENGKHIANATAN


APAKABAR#08-IV/CURHAT

Cinta memang indah dan teramat manis, semanis madu dari surgawi. Namun apabila cinta sudah berhiaskan pengkhianatan, pahitnya melebihi empedu. Tak mau aku pertahankan cinta palsu yang menggoreskan luka parah dalam hatiku. Dan aku berharap, cukuplah sekali dalam hidupku.

Lebih dari lima tahun aku mengenal pria, sebut saja namanya Edo (bukan nama sebenarnya). Selain sebagai teman baik, sebenarnya aku sangat menghormati dan menghargai Edo sebagai pembimbingku. Hingga beberapa tahun terakhir ini, aku jadian sama Edo. Hubungan kami baik dan tak ada masalah. Aku tak pernah mau mempermasalahkan hal-hal kecil ataupun yang sepele.

Aku pun sangat memaklumi keadaannya. Sebagai seorang yang senior dalam sebuah bidang yang digemari banyak kalangan, tentunya ia banyak teman dan relasi, pria maupun wanita. Baik dari bangsa sendiri maupun dari kebangsaan lain. Tentu saja pergaulannya sangat luas, jauh bila dibandingkan dengan diriku.

Namun, sebuah perjalanan tidak selamanya mulus. Sampai pada akhirnya, di penghujung bulan Ramadhan 1429 H atau tepatnya bulan September 2008 lalu, aku mulai mencium aroma pengkhianatan cinta Edo.....selengkapnya