KABAR DUKA DARI JAKARTA
Pada 17 Juli 2007, teror bom kembali mengguncang dan membuat Jakarta luluh lantak. Ledakan bom bunuh diri di dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan dikaitkan dengan hasil pemilu presiden. Benarkah? Baca selengkapnya di rubrik SOROT.
Sabtu, 25 Juli 2009
APAKABAR EDISI 10/IV BEREDAR 25 JULI 2009
at 00.00 0 comments
Labels: edisi lama
Jumat, 24 Juli 2009
DUNIA MAYA MEMANG TIDAK BISA DIPERCAYA
Apa sih yang diandalkan untuk berkenalan lewat dunia maya? Tidak lebih dan tidak bukan hanya bermodal ”kain gombal”. Mula-mula aku masih tidak menyadari, setiap kalimat serius yang keluar dari bibir J, cowok asal Tulungagung yang bekerja di Korea, hanyalah dusta. Belakangan terbukti, kata-kata itu memang tak bisa dipegang. Aku terkibuli.
Kurang lebih delapan tahun aku bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Saking lamanya, keluarga majikan sudah menganggapku seperti keluarga sendiri. Yup, sejak pertama kali datang ke Hong Kong hingga saat ini, aku memang bekerja hanya pada satu majikan.
Pada tahun-tahun pertama, hakku sebagai pekerja tentulah masih belum kuterima sepenuhnya. Namun pada tahun-tahun berikutnya, majikan memberikan semua hak-hakku. Aku bahkan diizinkan keluar rumah pada jam kerja, asalkan pekerjaan di rumah sudah rampung semua. Selain itu, majikan juga memberiku fasilitas yang menurutku sangat wah. Asal tahu saja, di kamarku yang ber-AC penuh dengan barang-barang elektronik. Mulai dari televisi, tape recorder, dan komputer lengkap dengan yahoo messenger. Read more....
at 21.00 0 comments
Labels: Curhat, edisi lama
BOM KEMBALI MENGGUNCANG JAKARTA
Jakarta kembali luluh lantak oleh ledakan bom bunuh diri di dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan. Sembilan orang tewas, tujuh di antaranya warga negara asing. SBY menuding ada ”drakula” gentayangan. Benarkah bom ini terkait hasil pilpres?
Sebuah pertemuan bisnis di JW Lounge, Hotel JW Marriot Jakarta, Jumat pagi, 17 Juli lalu, urung terjadi. Dihadiri oleh sejumlah eksekutif perusahaan papan atas yang beroperasi di Indonesia, pertemuan rutin yang didahului dengan sarapan pagi itu rencananya hendak membahas bisnis minyak dan pertambangan. Namun, pukul 07.47 WIB, belum lagi sarapan dimulai, ledakan bom membuyarkan semuanya.
Blaar! Ledakan menggelegar, hanya beberapa meter dari lounge yang mengarah ke Restoran Sailendra. Gedung seakan runtuh. Tembok ambrol, plafon berjatuhan, gelas dan piring melayang, pecah berhamburan, asap membubung tinggi. Ceceran darah terlihat di mana-mana, lalu gelap dalam sekejap. Baca selengkapnya di APAKABAR 10/IV
at 20.00 0 comments
Labels: edisi lama, Sorot
TTM APAKABAR 10/IV
Masih jomblo dan mau cari pasangan? Buruan manfaatkan forum teman tapi mesra. Syaratnya mudah: Kirim data kamu (lebih baik disertai foto terbaru) berikut pasangan yang kamu impikan. Email ke tim@tabloidapakabar.com atau kirim pesan singkat ke (+85) 9601 5379 (Hong Kong) dan (+62) 0817 120436
KODE 920
Nama: Toko.
Lahir: Blitar, Februari 1981.
Tb/Bb: 167/60 kg.
Dambakan: Cewek sederhana.
Alamat: Malaysia.
KODE 921
Nama: Susanti.
Lahir: 20 Oktober 1985.
Tb/Bb: 155/49 kg.
Hobi: Baca, dengar musik.
Dambakan: Cowok baik, setia, tanggung jawab, punya pekerjaan tetap.
Alamat: Lai Chi Kok.
KODE 922
Nama: Hanis W.
Lahir: Maret 1984.
Hobi: baca.
Dambakan: Cowok berwawasan luas, nggak neko-neko.
Alamat: Thi Shui Wai.
KODE 923
Nama: Lilik.
Lahir: Ponorogo, 22 November 1982.
Agama: Islam.
Status: Janda.
Dambakan: Cowok/cewek jujur, baik hati, bisa diajak curhat.
Alamat: Shatin.
KODE 924
Nama: Ana, 26 tahun.
Tb/Bb: 151/48 kg.
Agama: Islam.
Status: Single.
Dambakan: Cowok seiman, tanggung jawab.
Alamat: Hong Kong.
KODE 925
Nama: Vivi.
Lahir: September 1983.
Tb/Bb: 162/55 kg.
Hobi: Traveling.
Dambakan: Teman buat sahabatan.
Alamat: Hong Kong.
KODE 926
Nama: Yeremia.
Lahir: Semarang, 28 November 1986.
Status: Single.
Hobi: Dengar musik, kenalan.
Agama: Kristen.
Dambakan: Cowok single lebih dewasa, jujur, seiman, setia, responsible.
Alamat: Hong Kong.
KODE 927
Nama: Dina.
Lahir: Kendal, 30 tahun.
Status: Janda.
Agama: Islam.
Dambakan: Teman humoris, nyambung diajak ngobrol.
Alamat: Hong Kong.
KODE 928
Nama: Nora Sika.
Lahir: Semarang 1980.
Agama: Islam.
Dambakan: Pria matang, supel, punya pendirian.
Alamat: Hong Kong.
KODE 929
Nama: Kamelia.
Lahir: Kendal, 1982.
Agama: Islam.
Status: Single.
Dambakan: Pendamping jejaka, pinter, sayang, seiman, sehati.
Alamat: Hong Kong.
KODE 930
Nama: Amanda.
Lahir: Blitar, 20 tahun.
Status: Single.
Dambakan: Cowok serius, penyayang, bertanggung jawab, umur tak jadi soal.
Alamat: Hong Kong.
KODE 931
Nama: Tria, 23 tahun.
Status: Single.
Agama: Islam.
Dambakan: Cowok sederhana, usia tak jadi soal, setia.
Alamat: Hong Kong. HP: 68405319.
KODE 932
Nama: Heni Susanti.
Lahir: Magetan, 15 Februari 1987.
Agama: Islam.
Status: Single.
Dambakan: Cowok yang bisa menerima apa adanya, dewasa, sayang, setia.
Alamat: Hong Kong.
KODE 933
Nama: Airien, 23 tahun.
Agama: Islam.
Status: Single.
Tb/Bb: 151/51 kg.
Dambakan: Cowok humoris, perhatian, suku Jawa atau Bali.
Alamat: Aberdeen.
KODE 934
Nama: Halimah.
Lahir: Lampung, 14 September 1978
Agama: Islam.
Hobi: Kenalan, makan bakso
Dambakan: Bujang/duda seiman, bertanggung jawab, jujur, setia.
Alamat: Santa Barbara, Royal Palm, Yuen Long.
Ada beberapa catatan dari redaksi untuk teman-teman yang sudah atau ingin bergabung di TTM Apakabar. Baca, ya di sidebar kanan.
at 20.00 0 comments
Labels: edisi lama, TTM
Kamis, 23 Juli 2009
ADA APA DI APAKABAR 10/IV?
KABAR DUKA DARI JAKARTA
Pada 17 Juli 2007, teror bom kembali mengguncang dan membuat Jakarta luluh lantak. Ledakan bom bunuh diri di dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan dikaitkan dengan hasil pemilu presiden. Benarkah? Baca selengkapnya di rubrik SOROT.
at 16.33 0 comments
Labels: edisi lama
Rabu, 15 Juli 2009
Ibu Kembali Padamu, Nak
Cerpen: Jaladara Aku sering mengingat hari-hari terakhir di kampung kelahiranku. Tatapan wajah orang-orang yang mengantarku, kata-kata yang mereka nasihatkan, cara mereka menyalami tangan, dan memelukku melepas kepergian dari tengah-tengah mereka. Aku selalu mengingat deretan rumah-rumah yang kulewati sepanjang gang. Pohon-pohon di halamannya, dan anak-anak kecil yang dengan tatapan ingin tahu memperhatikan seorang perempuan yang tengah berjalan menyeret koper besar, tujuh tahun silam.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya aku akan menceritakan kisah ini kepadamu. Jika bukan karena seorang anak kecil di Taman Victoria yang tanpa sengaja menubrukku karena tak bisa mengendalikan laju sepatu rodanya, mungkin aku akan menyimpan rapat kisah ini hanya untuk diriku sendiri.
Hari itu, pagi-pagi benar aku telah keluar dari rumah tempatku bekerja sebagai kung yan di sebuah rumah beton di Wanchai. Majikan memperlakukanku seperti mesin yang tak kenal lelah dan tak perlu istirahat. Aku ingin berontak sebenarnya, namun apa daya. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Apalagi ini negeri orang.
Dari Wanchai, aku naik tram menuju Taman Victoria. Minggu adalah hari kebebasanku, juga semua kung yan sepertiku. Setiap Minggu aku ingin cepat-cepat sampai di taman itu, untuk menemuinya. Entah kenapa aku merasa senang jika bertemu dengannya. Apalagi saat aku duduk di sampingnya, menyandarkan kepalaku di bahunya, dan berkeluh kesah tentang pekerjaanku. Aku merasa betul-betul damai. Kedamaian yang belum pernah kutemukan selama bertahun-tahun aku bekerja di negeri asing ini. Setidaknya, seminggu sekali aku merasakan kebahagiaan. Bersamanya.
Aku mengenalnya beberapa bulan lalu di taman itu juga. Di antara ribuan wanita tua dan muda dengan bermacam dandanan dan aktivitas, entah kenapa pandanganku tertuju pada sosoknya yang tenang. Ia sedang duduk bersama dua temannya di salah satu bangku taman. Kedua temannya asyik memencet-mencet tombol handphone keluaran terbaru, sementara ia menghisap sebatang rokok. Pandangannya lurus menerawang jauh sesuatu di depannya, entah apa.
Aku menyengaja melangkah di depannya. Saat itulah pandangan mata kami bertemu untuk sesaat. Aku langsung memalingkan muka berpura-pura tidak melihatnya, atau setidaknya melihat jauh sesuatu di belakangnya. Namun dari sudut mataku aku tahu – atau setidak mempercayai pikiranku sendiri – bahwa ia tengah memperhatikanku.
Hari Minggu berikutnya aku berjalan-jalan di sekitar bangku tempatnya pernah duduk. Aku berharap bisa melihatnya lagi. Namun yang aku lihat hari itu adalah orang-orang yang lain. Aku tahu mereka sama sepertiku. Mereka tengah melepas lelah dan penat setelah berhari-hari bekerja. Tidak ada niat di pikiranku untuk menyapa mereka. Aku hanya menunggunya. Minggu itu sudah aku niatkan untuk menyapa dan berkenalan dengannya.
Saat orang-orang yang duduk di bangku itu pergi, bergegas aku menghampiri bangku itu dan duduk di atasnya. Sengaja aku menaruh tasku agak jauh di samping, agar jika ia datang, aku tinggal mengambil tasku dan meletakkannya di pangkuan sehingga ia bisa duduk di sampingku. Hmm, harapan yang tidak masuk akal, memang. Di taman itu banyak bangku, peluangnya sangat kecil ia akan datang dan duduk di bangkuku.
Udara pagi yang cukup dingin berembus pelan. Dedaunan pohon-pohon besar di dekat bangkuku jatuh beberapa helai. Aku melayangkan pandangan ke seluruh penjuru taman yang dijejali oleh ribuan perempuan. Mereka berbicara dengan bahasa yang sangat akrab di telingaku, bahasa negeriku. Banyak sekali aktivitas yang mereka lakukan. Ada yang bergerombol mendengarkan ceramah seorang dai, ada yang sekadar duduk berkerumun dan ngerumpi, ada juga yang tengah berjoget mengiringi musik dangdut.
Aku tersenyum-senyum sendiri. Di taman itulah aku menemukan wajah negara asalku. Di tengah-tengah belantara beton negeri asing yang bermil-mil jauhnya dari negeriku, ternyata masih ada tempat seperti itu.
Mendadak aku dikagetkan oleh suara seseorang di sampingku. Suara yang diikuti oleh berpindahnya tas ke pangkuanku. Dan di situlah, di bekas tempat tasku berada, di sampingku, ia duduk. Meski ia mengatakan maaf dan permisi, tapi nadanya datar, bahkan ketus. Seolah tak sungguh-sungguh mengatakannya.
Ia duduk di sana. Seperti yang aku lihat seminggu sebelumnya, tangannya memegang sebatang rokok. Dengan angkuh ia mengisap dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Untuk sesaat aku tidak percaya apa yang aku lihat. Lebih tepatnya, aku terkejut mendapati kebetulan itu. Bukan sepenuhnya kebetulan memang, karena aku telah mengharapkan, merencanakannya.
”Ada apa lihat-lihat? Gak biasa lihat orang merokok di sini, ya?” ujarnya ketus. Aku langsung memalingkan muka. Berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku.
Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa menunduk dan diam. Dalam kepalaku terangkai berpuluh-puluh kalimat yang ingin segera kuucapkan. Entah kenapa, ia seperti magnet yang terus menarik pikiranku waktu itu untuk terus memikirkannya. ”Asalnya dari mana?” ia bertanya kepadaku, masih dengan gaya bicara yang datar, bahkan cenderung ketus, tanpa melihat ke arahku.
”B..b..anyuwangi,” jawabku gugup.
Seakan mengetahui kegugupan dan ketakutanku, ia menoleh dan melembutkan sedikit gaya bicaranya. Ia bertanya, ”Hmm...tidak ikut pengajian di sebelah sana?” Ia menunjuk dengan kepalanya ke arah kerumunan perempuan berkerudung. ”Setahuku, banyak orang Banyuwangi di sana,” lanjutnya. ”Oh ya, kalau aku dari Indramayu. Namaku Tommy.”
Aku tertawa terkikik-kikik mendengar ia memperkenalkan namanya. Nama yang aneh bagi seorang perempuan.
”Kenapa tertawa? Emangnya nggak boleh perempuan pakai nama Tommy, heh?”
Setelah tertawa, aku merasa agak santai. Kegugupan yang aku rasakan sebelumnya mulai menghilang. ”Kalau nama saya Rini. Lengkapnya Rini Sulistyowati. Boleh dipanggil Rini, Sulis atau Wati, terserah Mbak Tommy saja.” Aku kembali terkikik-kikik sesaat setelah mengucapkan kata Mbak Tommy.
Memang, meskipun aku tahu ia seorang perempuan, namun dandanannya tidak menunjukkan hal itu. Ia memakai kaos hitam, dipadu dengan celana pendek warna krem yang banyak sakunya dan sepatu kets putih. Rambutnya yang cepak dicat seperti warna rambut bule. Satu-satunya bukti yang meyakinkan dari penampilannya bahwa ia perempuan adalah tonjolan di dadanya.
Dari perkenalan dan saling menyebut nama itu aku dan Tommy mulai akrab. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami bekerja. Ia bekerja di Central. Ia sungguh beruntung. Majikan yang mempekerjakannya tidak seburuk majikan yang mempekerjakanku. Oh ya, nama aslinya Sutemi, namun di Hong Kong oleh kawan-kawannya ia lebih sering dipanggil Tommy, karena tingkah laku dan dandanannya yang seperti laki-laki.
Entah kenapa, setelah perkenalan Minggu itu, minggu-minggu setelahnya kami selalu bertemu. Kami saling bercerita tentang banyak hal. Aku merasa nyaman bicara dengannya. Ia menjadi tempatku mengadu, berkeluh kesah, dan berbagi cerita. Aku menyadari, kedekatan kami hampir seperti kedekatan perempuan dan lelaki. Ia dengan segala kelebihan dan kekuatannya, mengisi kekurangan dan kelemahanku.
Kedekatan kami kian lengket ketika, suatu kali, ia mengajakku ke sebuah hostel di kawasan Yuen Long. Di kamar hostel itulah –aku tak ingin menceritakannya, mengingatnya selalu membuatku sangat malu pada diriku sendiri, juga membuatku merasa sangat bersalah, aku merasa sangat tercela – kami bercumbu. Kami saling menyalurkan hasrat badaniah kami. Setelah sekian lama menanggung sepi di negeri orang, aku seakan menemukan kebahagiaan lain bersamanya. Sentuhan-sentuhannya, belaian-belaiannya, dan caranya memperlakukanku selalu membuat hatiku luluh dalam pelukannya.
Setiap minggu kami selalu bertemu di Taman Victoria. Kami berjalan-jalan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Darinya, aku juga tahu, banyak pasangan seperti kami di taman itu. Ia pun menceritakan tentang kekasihnya sebelumnya, seorang perempuan sepertiku. Memang mulanya kami masih malu-malu untuk menunjukkan kedekatan kami. Makin minggu kami makin berani. Bahkan kami tidak malu-malu lagi untuk berciuman di depan orang banyak. Kami tidak ambil pusing dengan orang-orang yang memperhatikan kami. Bersamanya, aku menemukan kedamaian dan kebebasan dari penat dan lelahnya hari-hari bekerjaku.
Hingga datang minggu itu…
Pagi itu seperti biasa aku menunggunya di bangku tempat perkenalan kami. Ia datang dan langsung mencium bibirku dengan penuh nafsu. Orang-orang di sekeliling memperhatikan kami dengan tatapan yang bermacam-macam. Setelah itu kami berjalan-jalan mengelilingi taman. Alangkah bahagianya kami waktu itu. Senyum dan tawa mengalir di sela-sela obrolan kami.
Sepanjang jalan, aku terus menggenggam tangannya. Hingga tiba-tiba, dari arah depan meluncur dengan cepat seorang anak kecil di atas sepatu rodanya. Ia terlihat tidak bisa mengendalikan lajunya. Anak kecil itu meluncur tepat ke arahku. Tangannya merentang, seakan hendak mengusir siapa pun yang ada di depannya (ataukah ia hendak mencari pertolongan?)
Aku tak sempat menghindar. Genggaman tanganku di tangan Tommy aku lepaskan. Tanpa sadar aku merentangkan tanganku seakan menyambut anak kecil itu. Aku jatuh tersungkur ke belakang, dengan anak kecil itu ada dalam pelukanku. Ia menatapku dengan tatapan maaf dan terima kasih. Wajahnya… Menatap wajahnya tiba-tiba aku menangis. Air mata menggenang di mataku. Bermacam kilasan masa lalu berebut memadati ingatanku, seperti slide-slide film yang berebut memutarkan diri di dalam proyektor kepalaku. Kilasan-kilasan tentang keberangkatanku, hari-hariku di negeri asing ini, Tommy, dan tentang…anakku.
Keberangkatanku bekerja meninggalkan suami dan seorang anak yang ketika itu baru berusia dua tahun. Impitan ekonomi memaksaku menerima tawaran untuk bekerja di luar negeri. Kupikir, akan semudah seperti yang diceritakan oleh beberapa perempuan di desaku yang telah berhasil bekerja dan membawa pulang banyak uang. Di saat itulah, saat aku menatap mata polos anak kecil di pelukanku, aku teringat mata anakku yang kutinggalkan tujuh tahun lalu. Ingatan itu merasuk begitu dalam dan kuat, sehingga saat aku bangkit berdiri, aku melupakan Tommy dan berlari sejauh mungkin menjauhinya.
Kisah selanjutnya, kau tahu sendiri. Aku melompat dari lantai tiga apartemen majikanku. Kakiku patah, tak sanggup melangkah sendiri ke Konjen. Beruntung seseorang menemukanku, membawaku ke rumah sakit ini, dan melaporkan peristiwa itu ke KJRI. Dan kau datang, sebagai petugas Konjen, untuk meminta keterangan lengkap tentang peristiwa itu kepadaku. Kuharap kau bisa menolongku. Aku ingin segera pulang ke Indonesia, ke Banyuwangi, untuk menemui anakku. Ia pasti sudah besar sekarang. Aku sangat menyayanginya, dan berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.
Aku rindu kehidupan lamaku, di mana seorang malaikat kecil memanggilku ibu.
at 15.07 0 comments
Labels: edisi lama, Pojok Victoria
Pikirkan Masa Depanmu Setelah Tidak di Hong Kong
Kel Sumiyati, Jalan Urip Sumoharjo II No. 73, Wonogiri, Jawa Tengah Bagi seorang perempuan dengan dua anak, kehilangan pasangan hidup merupakan pukulan telak. Terlebih ketika dibenturkan pada urusan perut. Asas kesetiaan yang tetap dipertahankan sebagai bagian dari komitmen setia sehidup semati dengan sang pasangan, membuat Sumiyati lebih memilih hidup menjanda dengan segala risikonya.
Meskipun berat, namun dengan kekuatan cinta dan tekat baja, perlahan tapi pasti Sumiyati – yang kini menjadi BMI di Hong Kong – mampu mengukir masa depan generasi penerus, kedua anaknya yang tercinta. Dari sebuah rumah sederhana di Jalan Urip Sumoharjo II No. 73 Wonogiri, Jawa Tengah, Masnun – ayahanda Sumiyati – bertutur melalui Apakabar.
”Ndhuk Sum, tanpa terasa, sudah hampir 10 tahun kamu pergi merantau bekerja ke Hong Kong. Saat kamu berangkat dulu, ibumu masih ada. Anakmu masih kecil-kecil,. Rumah kita masih sangat jelek, lantainya masih tanah, dindingnya sudah jamuran di mana-mana, gentengnya banyak yang bocor. Tapi sekarang, kondisinya sudah jauh berubah.
Anakmu sudah besar. Si Wahyu sudah kelas 2 Madrasah Aliyah, Bagus kelas 3 Madrasah Tsanawiyah. Rumah kita sudah bagus, ada perabotnya yang layak. Lantainya sudah keramik. Atapnya tidak pernah bocor lagi. Tidur pun bisa nyenyak di kasur yang empuk. Bapak sangat bersyukur dengan perubahan yang Allah berikan untuk keluarga kita. Apa pun adanya, semua berkat kerja kerasmu ndhuk.
Andai kamu tidak tergerak bekerja ke Hong Kong, mungkin keadaan keluarga kita sangat pontang-panting secara ekonomi, sepeninggal almarhum suamimu Marsudi 10 tahun yang lalu. Tapi ternyata kamu sigap menghadapi keadaan. Cepat mengambil keputusan dan kehidupan keluarga kita bisa dipertahankan dalam kesejahteraan.
Ndhuk, saran bapak, kalau bisa tolong kamu pikirkan juga tanaman modal untuk sumber penghasilan kamu dan anak-anakmu nanti, setelah kamu tidak bekerja di Hong Kong. Kalau sekarang, selama kamu masih bekerja di Hong Kong, segala kebutuhan bisa dipenuhi dari gajimu. Tapi coba pikirkan, nanti setelah kamu pulang, kamu akan menghidupi anak-anakmu dari mana?
Mereka semakin besar dan semakin butuh banyak biaya. Apalagi si Wahyu, sering banget menceritakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah ke Jogja supaya nanti bisa memiliki pekerjaan yang mapan. Bapakmu ini semakin hari semakin tua, sudah barang tentu semakin kecil kekuatan bapak untuk membantumu selain dengan berdoa. Pikirke tenan ya, ndhuk.
Perkembangan sekolah anak-anakmu menurut bapak sangat bagus. Mereka rajin dan memiliki semangat untuk maju berprestasi menjadi orang. Wahyu keinginannya menjadi guru, sedangkan Bagus ambisinya pengin menjadi pemain sepak bola yang terkenal. Sebagai orangtua, saran bapak, kita dukung saja semampu kita selama apa yang menjadi keinginan mereka itu bagus dan bermanfaat.
Pesenku ndhuk, selama kamu di Hong Kong, jangan sampai kamu jauh dari Allah ya. Tetap kerjakan shalat lima waktu, karena itulah tiang hidupmu. Jangan sampai tiangmu itu rapuh, supaya kamu tetap tegar dalam segala suasana. Pandai-pandai membawa diri dan selalu berhati-hati dalam bekerja dan bergaul, ya. Agar apa yang kamu kerjakan membawa kebaikan. Bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk orang lain.”
---------------
Eka Wahyuningtyas, Anak Pertama Sumiyati
”Bu, Boleh Kan Wahyu Minta Dibeliin Laptop?” ”Ibu, alhamdulillah, Wahyu, Dik Bagus dan Kakung dalam keadaan sehat-sehat saja. Kami berharap ibu di Hong Kong juga selalu dalam keadaan yang sama. Ibu, dari hasil pembagian rapor kemarin, Wahyu dapat ranking 3. Dan alhamdulillah, Wahyu naik ke kelas 3. Sebenarnya Wahyu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mempersembahkan ranking pertama untuk ibu dan semua keluarga. Namun apa daya, persaingan sangat ketat, Bu. Ibu tidak kecewa kan?
Bu, kata guru Wahyu di sekolah, kalau Wahyu bisa mempertahankan prestasi menjadi lima besar sejak kelas satu sampai lulus nanti, Wahyu berpeluang untuk menerima beasiswa kuliah gratis di Jogja. Ibu setuju kan? Wahyu sangat ingin, setamat dari MAN, bisa melanjutkan kuliah. Ini penting, agar saat Wahyu bersaing di dunia kerja, modal yang Wahyu miliki cukup mendukung.
Setelah tamat kuliah nanti, Wahyu ingin mewujudkan cita-cita menjadi guru. Wahyu ingin mengabdi di sekitar kampung halaman kita, agar bisa selalu dekat dengan ibu, tentunya jika ibu sudah pulang dari Hong Kong.
Untuk mendukung proses yang sedang Wahyu jalani, boleh kan Bu kalau Wahyu minta dibelikan laptop? Menjelang lulus nanti, Wahyu sudah mulai membutuhkan untuk menyusun paper. Di samping juga untuk menunjang pelajaran komputer di sekolah. Apalagi jika nanti Wahyu bisa melanjutkan kuliah, laptop itu sangat penting untuk menunjang kelancaran kuliah Wahyu. Oke ya, Bu?!”
at 14.44 0 comments
Labels: edisi lama, Kampung Halaman
Narkoba Mengantarku Jadi BMI di Malaysia
Sebelum mengenal narkoba, karierku sebagai seorang arsitek lumayan bagus. Rumah tanggaku juga sangat bahagia. Dikarunia seorang istri cantik, setia, pandai mengurus kedua buah hati, juga keuangan kami. Tak ada yang kurang pada masa ”kejayaanku” masa itu. Hingga suatu hari, aku diajak ke sebuah klub malam oleh sahabatku yang sedang frustasi. Ia barusan kehilangan istri, yang sedang mengandung empat bulan, ke pangkuan Illahi.
Mula-mula aku hanya sebatas menemani, tetapi lama kelamaan aku kecanduan. Terlebih setelah aku berkenalan dengan ekstasi alias inex. Bukan hanya utang yang menumpuk, aku pun harus meringkuk dalam jeruji besi setelah tertangkap basah nginex. Puncaknya, selepas dari penjara, istriku meminta cerai dengan membawa serta kedua anakku. Mereka tak sudi lagi hidup bersamaku, yang bekas narapidana. Sekarang aku hanya bisa meratapi nasib, sembari berdoa semoga kegagalan yang pertama tak terulang lagi di dalam hidupku.
Kurang lebih tujuh tahun aku bekerja di Malaysia, meninggalkan Madiun tempat kelahiranku. Selama di negara ini, segala macam pekerjaan telah aku coba. Mulai dari nyopir, kuli bangunan, bekerja di perkebunan hingga sebagai tukang cuci piring di restoran – pekerjaan yang kini kugeluti.
Selama itu, bayang-bayang buruk selalu menghantuiku, tetapi aku mencoba tetap bertahan dan tak ingin kembali ke tanah air. Ya, rasanya sudah tak ada lagi yang menarikku untuk pulang ke kampung halaman. Kedua orangtuaku sudah tiada. Saudara-saudariku sudah menikah semua. Sementara istriku telah menikah lagi dengan membawa kedua anakku.
Aku pernah dua kali menginjakkan kaki ke Tanah Air. Tepatnya ketika istriku meminta cerai dan ketika sidang soal hak pengasuhan anak. Meski tak terlalu lama, urusan itu kuanggap sangat penting. Artinya, aku tak bisa menyerahkan masalahku hanya melalui pengacara. Aku harus hadir di sana agar bisa adu argumentasi atas tuduhan-tuduhan istriku.
Sayangnya, aku tak memiliki bukti apa pun atas pemojokan yang dituduhkan istriku. Aku kalah, dan hak asuh kedua anakku pun dimiliki mantan istriku. Dalam surat perjanjian, sebenarnya aku diizinkan untuk bertemu dengan kedua anakku. Tapi entah kenapa istriku selalu punya alasan agar aku dan anakku tidak bisa bertemu. Dan, itu sangat aku sedihkan. Hingga membuat aku putus asa dan nekat tidak kembali ke Tanah Air lagi. Aku yakin, suatu hari nanti anak-anakku pasti akan bertanya dan mencari papanya.
Sebelum aku dipenjara dua tahun – menjelang berangkat ke Malaysia – kedua anakku sempat merasakan kasih sayangku. Saat itu usia anak sulungku delapan tahun dan si bungsu enam tahun. Jadi kupikir, ia bisa tahu, akulah papa kandungnya. Walaupun mungkin mamanya sudah mencekokinya dengan cerita buruk tentang aku, biarlah. Mungkin ini hukuman bagiku. Entah hukum alam ataukah hukum Tuhan.
Cerita itu kusimpan rapi di dalam hidupku selama aku di Malaysia. Cerita itu sangat kelam hingga membuat kisi-kisi hatiku selalu tak tenang. Bayangan anakku, mantan istriku, masa kejayaanku, semua jadi siksaan tersendiri bagiku. Aku tahu semua salahku, dan karena itulah aku tak pernah menyalahkan sikap istriku yang berubah demikian. Yang kutangisi tiap kali ingat anak dan istriku adalah hari terakhir kunjungan mereka ke penjara, tepatnya satu bulan setelah aku masuk penjara. Saat itu aku melihat mata istriku berkaca-kaca sewaktu kedua anakku mengajakku pulang ke rumah. Air mata mereka sungguh menerbitkan kepedihan bagi hatiku. Sejak itu mereka tak lagi membezukku.
Sementara itu, sahabatku yang mengajakku mengenal dunia malam, juga memperkenalkanku dengan perempuan-perempuan malam hingga ke para bandar narkoba, tak sekalipun menengokku. Aku sangat menyesali, kenapa sedetik saja mereka tak mau datang dan melihatku. Ketika ia ada masalah, butuh bantuan apa pun, aku tak pernah keberatan menolongnya. Tapi kenapa ia tak mau datang menolongku? Ah, jangankan menolong, menengok pun tidak.
Pukulan terberat dalam hatiku, yakni ketika aku sudah waktunya keluar dari penjara. Aku mendapat kabar, istriku berselingkuh dengan sahabat yang memperkenalkanku pada narkoba – salah satu kasus yang membawaku masuk penjara. Apakah aku masuk penjara juga atas jebakan sahabat yang termasuk relasi kerjaku itu?
Setahun, sekeluar dari penjara, aku kembali ke rumah orangtuaku. Seluruh hartaku ludes yang, menurut mantan istriku, dijual semua untuk menutupi utang-utangku di bandar inex. Selama di rumah orangtua, ada yang membuat hatiku sedikit tenang. Tetapi ketenanganku terusik ketika, beberapa bulan sekeluar aku dari penjara, mereka meninggal dalam tahun yang sama. Pukulan itu semakin berat, terlebih pada hari pemakaman bapak, istriku datang ikut berkabung sembari menyampaikan permintaan: ceraikan aku!
Bumi seolah runtuh. Kondisi pikiranku yang masih belum ”sehat” dari narkoba rasanya mau pecah. Sampai akhirnya, aku benar benar sadar, sesadar-sadarnya...hidup ini begitu berat untuk dijalani hanya seorang diri.
Tak ada satu pun yang membuat batinku tenang. Terlebih jika mengingat ”pandangan” masyarakat, juga tuduhan saudara-saudaraku yang – menurut mereka – akulah yang membunuh pikiran kedua orangtuaku sampai meninggal. Batinku terasa semakin sakit, sesakit-sakitnya. Tak satu orang pun yang mau berkawan lagi denganku. Aku tak mengerti kenapa dulu, ketika aku masih jaya, mereka begitu ”hormat” dan segan padaku. Tapi setelah mereka tahu aku masuk penjara gara-gara ketangkap, punya utang banyak, sampai meninggalnya orangtua, mereka semua mencibir. Sempat aku berpikir, sudah menjadi sampah masyarakatkah diriku?
Karena tak tahan dengan kondisi lingkungan yang demikian, aku nekat berangkat ke Malaysia melalui jasa penyalur. Mereka menempatkan aku di daerah Selangor, sebagai sopir pribadi keluarga kaya. Di tempat itu aku tak bisa bertahan lama. Pasalnya, setiap kali mengantar keluarga majikan bekerja, aku selalu terbayang pada kehidupan rumah tanggaku yang dulu begitu harmonis. Tekanan batin itu membuat aku memilih pekerjaan lain.
Namu, melepaskan diri dari agency ternyata rumit. Aku kesulitan mencari job, hingga pada akhirnya kujatuhkan pilihan menjadi kuli bangunan – pekerjaan yang sempat membuatku beberapa kali mengalami kecelakaan, tertimpa batu bata atau kayu. Beratnya pekerjaan, setidaknya telah cukup membantuku melupakan bayangan buruk dalam hidupku. Sebab, setiap kali kecapekan, aku akan tertidur pulas. Padahal, semenjak masuk penjara, aku tak pernah bisa tidur pulas.
Menjadi kuli bangunan ternyata banyak menganggur. Setidaknya, begitulah yang aku alami selama menjadi anak buah perusahaan itu. Job jarang ada, sementara setiap kali ada job selalu dengan sistem borongan. Kalau selama tidak ada pekerjaan perusahaan mau menanggung biaya makan minum tiap hari, itu tak apa. Tapi di perusahaanku tidak begitu. Selama menganggur, anak buah ya mesti menanggung sendiri biaya hidup sehari-hari. Keadaan yang tak nyaman itu menuntutku mencari pekerjaan lain, menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Celaka, bekerja di perkebunan ternyata justru membuat kondisiku semakin buruk. Aku dan teman-teman sesama tenaga kerja Indonesia harus tinggal di area perkebunan, dengan keadaan yang jauh dari layak. Kumuh dan banyak nyamuk. Sampai pernah suatu hari, aku dilarikan ke rumah sakit terbesar di kota itu, karena serangan demam berdarah. Untungnya, teman-temanku sangat baik dan suka rela membantuku. Satu per satu dari mereka yang sedang tidak kena shift akan menjagaiku di rumah sakit. Aku sungguh berutang budi pada teman-temanku di perkebunan.
Sejak keluar dari rumah sakit, kondisiku semakin memburuk. Aku jadi sering sakit-sakitan. Bukan hanya demam, panas badan, batuk, tetapi juga diare. Sampai kemudian, aku dipanggil pimpinan perusahaan, yang mengatakan tidak menginginkan tenagaku lagi. Alasannya, biaya yang mereka keluarkan jauh lebih besar ketimbang gaji bulananku. Sekali lagi aku berpasrah apa pun kehendak-Nya.
Kondisi kejiwaan, juga badanku, belakangan berangsur membaik setelah aku diajak teman bekerja di sebuah restoran masakan Cina. Walaupun gajinya lebih kecil, tetapi kondisiku jauh lebih ”sehat”. Sampai kemudian, aku mendapat surat dari pengacara istriku yang meminta cerai. Bisa dipastikan, pikiranku kembali harus ”bekerja keras.” Tak ada jalan lain, akhirnya kuterima ”tantangan” istriku, meskipun terpaksa harus pinjam uang yang cukup banyak pada teman sepekerjaan.
Setelah kelar semua urusan di Indonesia, aku kembali ke Malaysia. Bersiap membanting tulang demi membayar utang-utang. Tak mengapa aku kehilangan istri dan anak-anak, yang penting aku sudah ”melepaskan” istriku dari ketidakjelasan statusnya.
at 14.18 0 comments
Labels: Curhat, edisi lama
APAKABAR TERBARU #09/2009
Buat teman-teman Apakabar....
Kami minta maaf karena terlambat meng-update apakabar edisi 09/2009
Bagi yang belum kebagian, silahkan menikmati edisi 09 berikut.
Terima kasih
at 11.58 0 comments
Labels: edisi lama