Rabu, 15 Juli 2009

Ibu Kembali Padamu, Nak

Cerpen: Jaladara

Aku sering mengingat hari-hari terakhir di kampung kelahiranku. Tatapan wajah orang-orang yang mengantarku, kata-kata yang mereka nasihatkan, cara mereka menyalami tangan, dan memelukku melepas kepergian dari tengah-tengah mereka. Aku selalu mengingat deretan rumah-rumah yang kulewati sepanjang gang. Pohon-pohon di halamannya, dan anak-anak kecil yang dengan tatapan ingin tahu memperhatikan seorang perempuan yang tengah berjalan menyeret koper besar, tujuh tahun silam.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya aku akan menceritakan kisah ini kepadamu. Jika bukan karena seorang anak kecil di Taman Victoria yang tanpa sengaja menubrukku karena tak bisa mengendalikan laju sepatu rodanya, mungkin aku akan menyimpan rapat kisah ini hanya untuk diriku sendiri.

Hari itu, pagi-pagi benar aku telah keluar dari rumah tempatku bekerja sebagai kung yan di sebuah rumah beton di Wanchai. Majikan memperlakukanku seperti mesin yang tak kenal lelah dan tak perlu istirahat. Aku ingin berontak sebenarnya, namun apa daya. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Apalagi ini negeri orang.

Dari Wanchai, aku naik tram menuju Taman Victoria. Minggu adalah hari kebebasanku, juga semua kung yan sepertiku. Setiap Minggu aku ingin cepat-cepat sampai di taman itu, untuk menemuinya. Entah kenapa aku merasa senang jika bertemu dengannya. Apalagi saat aku duduk di sampingnya, menyandarkan kepalaku di bahunya, dan berkeluh kesah tentang pekerjaanku. Aku merasa betul-betul damai. Kedamaian yang belum pernah kutemukan selama bertahun-tahun aku bekerja di negeri asing ini. Setidaknya, seminggu sekali aku merasakan kebahagiaan. Bersamanya.

Aku mengenalnya beberapa bulan lalu di taman itu juga. Di antara ribuan wanita tua dan muda dengan bermacam dandanan dan aktivitas, entah kenapa pandanganku tertuju pada sosoknya yang tenang. Ia sedang duduk bersama dua temannya di salah satu bangku taman. Kedua temannya asyik memencet-mencet tombol handphone keluaran terbaru, sementara ia menghisap sebatang rokok. Pandangannya lurus menerawang jauh sesuatu di depannya, entah apa.

Aku menyengaja melangkah di depannya. Saat itulah pandangan mata kami bertemu untuk sesaat. Aku langsung memalingkan muka berpura-pura tidak melihatnya, atau setidaknya melihat jauh sesuatu di belakangnya. Namun dari sudut mataku aku tahu – atau setidak mempercayai pikiranku sendiri – bahwa ia tengah memperhatikanku.

Hari Minggu berikutnya aku berjalan-jalan di sekitar bangku tempatnya pernah duduk. Aku berharap bisa melihatnya lagi. Namun yang aku lihat hari itu adalah orang-orang yang lain. Aku tahu mereka sama sepertiku. Mereka tengah melepas lelah dan penat setelah berhari-hari bekerja. Tidak ada niat di pikiranku untuk menyapa mereka. Aku hanya menunggunya. Minggu itu sudah aku niatkan untuk menyapa dan berkenalan dengannya.

Saat orang-orang yang duduk di bangku itu pergi, bergegas aku menghampiri bangku itu dan duduk di atasnya. Sengaja aku menaruh tasku agak jauh di samping, agar jika ia datang, aku tinggal mengambil tasku dan meletakkannya di pangkuan sehingga ia bisa duduk di sampingku. Hmm, harapan yang tidak masuk akal, memang. Di taman itu banyak bangku, peluangnya sangat kecil ia akan datang dan duduk di bangkuku.

Udara pagi yang cukup dingin berembus pelan. Dedaunan pohon-pohon besar di dekat bangkuku jatuh beberapa helai. Aku melayangkan pandangan ke seluruh penjuru taman yang dijejali oleh ribuan perempuan. Mereka berbicara dengan bahasa yang sangat akrab di telingaku, bahasa negeriku. Banyak sekali aktivitas yang mereka lakukan. Ada yang bergerombol mendengarkan ceramah seorang dai, ada yang sekadar duduk berkerumun dan ngerumpi, ada juga yang tengah berjoget mengiringi musik dangdut.

Aku tersenyum-senyum sendiri. Di taman itulah aku menemukan wajah negara asalku. Di tengah-tengah belantara beton negeri asing yang bermil-mil jauhnya dari negeriku, ternyata masih ada tempat seperti itu.

Mendadak aku dikagetkan oleh suara seseorang di sampingku. Suara yang diikuti oleh berpindahnya tas ke pangkuanku. Dan di situlah, di bekas tempat tasku berada, di sampingku, ia duduk. Meski ia mengatakan maaf dan permisi, tapi nadanya datar, bahkan ketus. Seolah tak sungguh-sungguh mengatakannya.

Ia duduk di sana. Seperti yang aku lihat seminggu sebelumnya, tangannya memegang sebatang rokok. Dengan angkuh ia mengisap dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Untuk sesaat aku tidak percaya apa yang aku lihat. Lebih tepatnya, aku terkejut mendapati kebetulan itu. Bukan sepenuhnya kebetulan memang, karena aku telah mengharapkan, merencanakannya.

”Ada apa lihat-lihat? Gak biasa lihat orang merokok di sini, ya?” ujarnya ketus. Aku langsung memalingkan muka. Berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku.

Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa menunduk dan diam. Dalam kepalaku terangkai berpuluh-puluh kalimat yang ingin segera kuucapkan. Entah kenapa, ia seperti magnet yang terus menarik pikiranku waktu itu untuk terus memikirkannya. ”Asalnya dari mana?” ia bertanya kepadaku, masih dengan gaya bicara yang datar, bahkan cenderung ketus, tanpa melihat ke arahku.
”B..b..anyuwangi,” jawabku gugup.

Seakan mengetahui kegugupan dan ketakutanku, ia menoleh dan melembutkan sedikit gaya bicaranya. Ia bertanya, ”Hmm...tidak ikut pengajian di sebelah sana?” Ia menunjuk dengan kepalanya ke arah kerumunan perempuan berkerudung. ”Setahuku, banyak orang Banyuwangi di sana,” lanjutnya. ”Oh ya, kalau aku dari Indramayu. Namaku Tommy.”

Aku tertawa terkikik-kikik mendengar ia memperkenalkan namanya. Nama yang aneh bagi seorang perempuan.
”Kenapa tertawa? Emangnya nggak boleh perempuan pakai nama Tommy, heh?”

Setelah tertawa, aku merasa agak santai. Kegugupan yang aku rasakan sebelumnya mulai menghilang. ”Kalau nama saya Rini. Lengkapnya Rini Sulistyowati. Boleh dipanggil Rini, Sulis atau Wati, terserah Mbak Tommy saja.” Aku kembali terkikik-kikik sesaat setelah mengucapkan kata Mbak Tommy.

Memang, meskipun aku tahu ia seorang perempuan, namun dandanannya tidak menunjukkan hal itu. Ia memakai kaos hitam, dipadu dengan celana pendek warna krem yang banyak sakunya dan sepatu kets putih. Rambutnya yang cepak dicat seperti warna rambut bule. Satu-satunya bukti yang meyakinkan dari penampilannya bahwa ia perempuan adalah tonjolan di dadanya.

Dari perkenalan dan saling menyebut nama itu aku dan Tommy mulai akrab. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami bekerja. Ia bekerja di Central. Ia sungguh beruntung. Majikan yang mempekerjakannya tidak seburuk majikan yang mempekerjakanku. Oh ya, nama aslinya Sutemi, namun di Hong Kong oleh kawan-kawannya ia lebih sering dipanggil Tommy, karena tingkah laku dan dandanannya yang seperti laki-laki.

Entah kenapa, setelah perkenalan Minggu itu, minggu-minggu setelahnya kami selalu bertemu. Kami saling bercerita tentang banyak hal. Aku merasa nyaman bicara dengannya. Ia menjadi tempatku mengadu, berkeluh kesah, dan berbagi cerita. Aku menyadari, kedekatan kami hampir seperti kedekatan perempuan dan lelaki. Ia dengan segala kelebihan dan kekuatannya, mengisi kekurangan dan kelemahanku.

Kedekatan kami kian lengket ketika, suatu kali, ia mengajakku ke sebuah hostel di kawasan Yuen Long. Di kamar hostel itulah –aku tak ingin menceritakannya, mengingatnya selalu membuatku sangat malu pada diriku sendiri, juga membuatku merasa sangat bersalah, aku merasa sangat tercela – kami bercumbu. Kami saling menyalurkan hasrat badaniah kami. Setelah sekian lama menanggung sepi di negeri orang, aku seakan menemukan kebahagiaan lain bersamanya. Sentuhan-sentuhannya, belaian-belaiannya, dan caranya memperlakukanku selalu membuat hatiku luluh dalam pelukannya.

Setiap minggu kami selalu bertemu di Taman Victoria. Kami berjalan-jalan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Darinya, aku juga tahu, banyak pasangan seperti kami di taman itu. Ia pun menceritakan tentang kekasihnya sebelumnya, seorang perempuan sepertiku. Memang mulanya kami masih malu-malu untuk menunjukkan kedekatan kami. Makin minggu kami makin berani. Bahkan kami tidak malu-malu lagi untuk berciuman di depan orang banyak. Kami tidak ambil pusing dengan orang-orang yang memperhatikan kami. Bersamanya, aku menemukan kedamaian dan kebebasan dari penat dan lelahnya hari-hari bekerjaku.

Hingga datang minggu itu…

Pagi itu seperti biasa aku menunggunya di bangku tempat perkenalan kami. Ia datang dan langsung mencium bibirku dengan penuh nafsu. Orang-orang di sekeliling memperhatikan kami dengan tatapan yang bermacam-macam. Setelah itu kami berjalan-jalan mengelilingi taman. Alangkah bahagianya kami waktu itu. Senyum dan tawa mengalir di sela-sela obrolan kami.

Sepanjang jalan, aku terus menggenggam tangannya. Hingga tiba-tiba, dari arah depan meluncur dengan cepat seorang anak kecil di atas sepatu rodanya. Ia terlihat tidak bisa mengendalikan lajunya. Anak kecil itu meluncur tepat ke arahku. Tangannya merentang, seakan hendak mengusir siapa pun yang ada di depannya (ataukah ia hendak mencari pertolongan?)

Aku tak sempat menghindar. Genggaman tanganku di tangan Tommy aku lepaskan. Tanpa sadar aku merentangkan tanganku seakan menyambut anak kecil itu. Aku jatuh tersungkur ke belakang, dengan anak kecil itu ada dalam pelukanku. Ia menatapku dengan tatapan maaf dan terima kasih. Wajahnya… Menatap wajahnya tiba-tiba aku menangis. Air mata menggenang di mataku. Bermacam kilasan masa lalu berebut memadati ingatanku, seperti slide-slide film yang berebut memutarkan diri di dalam proyektor kepalaku. Kilasan-kilasan tentang keberangkatanku, hari-hariku di negeri asing ini, Tommy, dan tentang…anakku.

Keberangkatanku bekerja meninggalkan suami dan seorang anak yang ketika itu baru berusia dua tahun. Impitan ekonomi memaksaku menerima tawaran untuk bekerja di luar negeri. Kupikir, akan semudah seperti yang diceritakan oleh beberapa perempuan di desaku yang telah berhasil bekerja dan membawa pulang banyak uang. Di saat itulah, saat aku menatap mata polos anak kecil di pelukanku, aku teringat mata anakku yang kutinggalkan tujuh tahun lalu. Ingatan itu merasuk begitu dalam dan kuat, sehingga saat aku bangkit berdiri, aku melupakan Tommy dan berlari sejauh mungkin menjauhinya.

Kisah selanjutnya, kau tahu sendiri. Aku melompat dari lantai tiga apartemen majikanku. Kakiku patah, tak sanggup melangkah sendiri ke Konjen. Beruntung seseorang menemukanku, membawaku ke rumah sakit ini, dan melaporkan peristiwa itu ke KJRI. Dan kau datang, sebagai petugas Konjen, untuk meminta keterangan lengkap tentang peristiwa itu kepadaku. Kuharap kau bisa menolongku. Aku ingin segera pulang ke Indonesia, ke Banyuwangi, untuk menemui anakku. Ia pasti sudah besar sekarang. Aku sangat menyayanginya, dan berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.

Aku rindu kehidupan lamaku, di mana seorang malaikat kecil memanggilku ibu.

0 comments: